Kadang kita butuh secangkir kopi pahit untuk benar-benar terbangun. Bukan hanya mata yang terbuka, tetapi hati dan pikiran yang tersentak. Begitulah rasanya mendengar pesan yang disampaikan di forum penting para pemimpin perguruan tinggi di Surabaya. Isinya bukan laporan seremonial, bukan basa-basi, melainkan undangan untuk bangun dari tidur panjang.

Indonesia punya mimpi besar: menjadi negara maju. Bukan sekadar kata-kata di podium, tetapi target yang bisa diukur. Produk domestik bruto per kapita harus naik tiga kali lipat. Dan untuk mencapainya, ekonomi kita harus berlari delapan persen per tahun. Itu lari marathon, bukan jalan santai.

Kuncinya ada pada industri. Tapi industri tidak mungkin kuat tanpa penopang yang kokoh: kampus yang hidup, penuh riset yang relevan, inovasi yang dipakai dunia nyata, dan generasi muda yang tak kenal lelah. Di sinilah tantangan kita dimulai.

Sebuah pertanyaan sederhana diajukan: bagaimana mau berlari cepat jika mentalitas kita masih mentalitas “jam lima sore”? Di banyak negara maju, jam sembilan malam laboratorium masih menyala. Mahasiswa masih berdiskusi. Dosen masih mendengarkan presentasi progres. Mereka belum pulang, karena masa depan sedang mereka bangun.

Ini bukan seruan untuk melarang hiburan atau mematikan waktu istirahat. Ini tentang pilihan. Pilihan untuk mengambil jalan yang lebih menanjak, lebih melelahkan, demi sampai ke puncak yang lebih tinggi. Jalan “jam sembilan malam” menuntut disiplin, konsistensi, dan semangat yang gila kerja.

Dan motor penggerak perubahan itu ada di dunia kampus. Mahasiswa, dosen, peneliti, guru besar — merekalah elite bangsa yang menentukan arah. Ukuran keberhasilan mereka pun bergeser: bukan sekadar berapa banyak jurnal yang terbit, tetapi seberapa banyak riset yang hidup, dipakai, memberi manfaat nyata. Riset yang menghasilkan royalti, mendorong industri, menambah daya saing bangsa.

Namun, para akademisi tidak bisa bekerja sendiri. Ada jembatan yang harus dibangun, ada pintu-pintu industri yang harus diketuk. Di sinilah peran para pengelola kerja sama kampus menjadi vital. Mereka adalah duta besar yang harus menjemput peluang, bukan menunggu. Kantor mereka idealnya ada di pabrik, di asosiasi bisnis, di meja perundingan, bukan hanya di balik dinding kampus.

Kopi pahit ini bukan untuk membuat kita getir, tetapi untuk membuat kita sadar. Mimpi menjadi negara maju bukan untuk ditunggu, melainkan untuk dikejar. Pertanyaannya: beranikah kita memilih jalan “jam sembilan malam”? Jalan yang mungkin melelahkan, tetapi di ujungnya ada masa depan yang layak diperjuangkan.

Bangsa yang besar tidak lahir dari kenyamanan, tetapi dari kerja keras mereka yang berani bermimpi lebih jauh dan berjuang lebih lama.

Leave a Comment