Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) adalah cermin prioritas pembangunan sebuah negara. Salah satu amanat konstitusi yang paling sering disorot adalah alokasi 20% APBN untuk pendidikan. Komitmen ini bertujuan untuk memastikan pembangunan sumber daya manusia yang berkualitas. Namun, realisasinya seringkali memicu perdebatan sengit.
Baru-baru ini, sebuah diskusi menarik antara Menteri Keuangan Sri Mulyani dan Anggota DPR Dolfie (yang dapat Anda saksikan di YouTube) menyoroti kompleksitas di balik angka tersebut. Mari kita bedah dua perspektif utama dalam perdebatan ini.
Sudut Pandang Anggota DPR: Kekhawatiran Terhadap Realisasi Anggaran
Bapak Dolfie mengangkat kekhawatiran serius mengenai realisasi anggaran pendidikan yang secara konsisten di bawah target 20%, meskipun ada amanat konstitusi dan putusan Mahkamah Konstitusi tahun 2007-2008. Beliau menyoroti bahwa pada tahun 2024, realisasinya hanya sekitar 16,99%.
Menurut Bapak Dolfie, pemerintah, khususnya Kementerian Keuangan dan Bappenas, seolah “sengaja” merancang anggaran agar target 20% sulit dicapai. Salah satu argumen utamanya adalah penempatan sebagian besar dana pendidikan dalam pos “pembiayaan” (financing), bukan “belanja” (expenditure). Beliau menafsirkan bahwa putusan MK mengamanatkan 20% tersebut seharusnya masuk dalam kategori belanja, termasuk untuk gaji. Isu ini menimbulkan pertanyaan besar mengenai interpretasi dan prioritas kebijakan fiskal.
Sudut Pandang Menteri Keuangan: Realitas Manajemen Fiskal
Menanggapi hal tersebut, Ibu Sri Mulyani memberikan penjelasan penting dari sisi manajemen fiskal. Beliau menjelaskan bahwa “belanja negara” sangat kompleks, terdiri dari belanja kementerian/lembaga (KL), belanja pemerintah pusat (BUN), dan transfer ke daerah dan desa (TKDD).
Ibu Sri Mulyani menekankan bahwa angka 20% adalah rasio terhadap total belanja negara, dan “penyebut” ini bersifat dinamis. Mengapa?
- Variabilitas Belanja: Belanja barang dan modal sangat tergantung pada tingkat penyerapan. Jika penyerapan rendah, realisasi belanja juga akan rendah.
- Faktor Tak Terduga: Kejadian tak terduga, seperti peningkatan bantuan sosial saat El Nino, bisa membuat belanja barang naik drastis, sehingga proporsi pendidikan terlihat lebih kecil.
- Komponen Volatil: Belanja pemerintah pusat memiliki komponen besar yang sangat volatil, seperti subsidi, kompensasi, dan pembayaran bunga utang. Sebagai contoh, subsidi pernah melonjak dari 350 triliun menjadi 600 triliun pada tahun 2022. Fluktuasi ini memengaruhi total belanja negara dan, pada gilirannya, persentase alokasi pendidikan.
Ibu Sri Mulyani membantah tegas klaim bahwa kekurangan alokasi ini “by design” atau disengaja. Beliau menjelaskan bahwa target 20% dirancang ex-ante (sebelumnya) dalam rancangan APBN, namun realisasi ex-post (aktual) dapat bervariasi karena faktor-faktor dinamis ini.
Perdebatan ini menunjukkan kompleksitas besar dalam mengelola anggaran negara. Ada tarik ulur antara amanat konstitusi, realitas fiskal yang dinamis, dan kebutuhan akan pengeluaran yang efisien serta berkualitas. Memahami kedua perspektif ini membantu kita melihat APBN bukan hanya sebagai angka, tetapi sebagai alat vital yang dipengaruhi banyak faktor.
Apa pendapat Anda tentang perdebatan alokasi anggaran pendidikan ini? Bagikan pandangan Anda di kolom komentar!

